Hampir 80% Bencana di Indonesia Terkait Hidroklimatologi

SehatNegeriku, Jakarta, 18 April 2019

Kepala Pusat Krisis Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, dr. Achmad Yurianto mengatakan bencana di Indonesia dominan berkaitan dengan hidroklimatologi.

“Hampir 80 persen bencana di Indonesia terkait hidroklimatologi. Artinya bisa diprediksi. Bencana yang predictable sebenarnya bisa diprediksi juga jatuhnya korban,” katanya pada Temu Media tentang Hidroklimatologi, Kamis (18/4) di gedung Kemenkes, Jakarta.

Bencana yang berkaitan dengan hidroklimatologi itu, kata dr. Yuri, adalah bencana ‘sopan’ karena ada prediksi yang bisa kita manfaatkan untuk antisipasi risiko dengan baik. Tidak seperti bencana gempa besar yang terjadi tiba-tiba. Kejadian bencana hidroklimatologi seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, kekeringan, angin puting beliung, dan gelombang pasang/badai.

Maka, hidroklimatologi adalah langkah awal bagaimana terjadinya risiko pada manusia akibat gempa. Hidroklimatologi membuat kesiapsiagaan manusia mengurangi risiko.

“Karena itu yang menggugurkan definisi bencana adalah tidak adanya korban jiwa. Kami (Kemenkes) berkolaborasi dengan BMKG soal kerawanan bencana,” ucap dr. Yuri.

Bencana yang berkaitan dengan hidroklimatologi akan menjadi lebih parah ketika ada ulah manusia yang merusak alam.

dr. Yuri mencontohkan pada bencana banjir bandang di Bangka Belitung pada 5 Februari 2019.

“Kalau itu menyalahkan climate change, kenapa tidak terjadi di zaman Sriwijaya. Ternyata penyebabnya ada pergeseran struktur tanah akibat pengerukan timah. Ini bukan masalah cuacanya, ini ulah manusia. Kalau kita meyakini ini (bencana diakibatkan juga oleh manusia) maka pencegahan terjadinya risiko akibat ulah manusia bisa dilakukan,” kata dr. Yuri.

Hidroklimatologi harus dijadikan sebagai early warning system untuk mengelola bencana. Selain itu, keterkaitan antara iklim dengan wabah penyakit baru ditemukan pada wabad DBD.

Kepala Bidang Informasi Iklim Terapan, BMKG, Marjuki, M.Si mengatakan keterkaitan iklim dengan DBD baru di skala DKI Jakarta. Keterkaitan itu terjadi pada saat mulai peningkatan jumlah kasus DBD di diawali dengan kenaikan kelembaban (RH) >75%.

Data update pada 15 April 2019 tingkat kelembaban wilayah DKI Jakarta pada level tinggi, yakni Jakarta Selatan (RH 82%), Jakarta Timur (RH 80%), Jakarta Pusat (RH 77%), Jakarta Barat (RH 81%), dan Jakarta Utara (RH 76%).

Adanya keterkaitan ini, maka BMKG beserta Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan Institut Teknologi Bandung (ITB) membangun Kewaspadaan dini DBD berbasis iklim (DBDKlim) untuk memberikan informasi prediksi pada periode yang akan datang, sehingga dapat dilakukan tindak lanjut oleh Dinas Kesehatan dan jajarannya.

“Informasi prediksi kasus DBD seharusnya sudah disampaikan sebelum kejadian DBD meningkat, sehingga dapat dilakukan intervensi lebih dini. Namun, sistem peringatan dini ini baru dilakukan setelah kasus DBD sudah mulai meningkat (Desember 2018),” kata Marjuki.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email [email protected]. (D2).

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat

drg. Widyawati, MKM.

Share:

Artikel Terbaru