Bandar Lampung ——- Dalam upaya percepatan tersedianya layanan kesehatan yang memadai bagi masyarakat, Kementerian Kesehatan mengusulkan proyek Strengthening of Primary Healthcare in Indonesia atau Penguatan Sistem Layanan Kesehatan Primer di Indonesia, disingkat SOPHI. Proyek ini berusaha mengatasi kesenjangan dalam sistem pelayanan kesehatan primer yang diakibatkan oleh fungsi preventif dalam pelayanan kesehatan primer, terutama di tingkat layanan terendah. Masih terdapat banyak pelayanan kesehatan rujukannya terbatas dan layanan yang tersedia memiliki kualitas yang tidak memadai.
Untuk mendukung fungsi tersebut diperlukan peningkatan kapasitas baik dalam segi peningkatan pelayanan ataupun penggunaan alat kesehatan yang dilaksanakan oleh SDM Kesehatan sehingga bisa meningkatkan upaya pelayanan kesehatan bagi masyarakat. salah satunya dengan mengikuti pengampuan.
Peningkatan kapasitas tersebut diharapkan dapat memberikan peningkatan pemahaman terkait penggunaan alat kesehatan dan pemberian pelayanan yang terstandar bagi seluruh siklus hidup. Oleh karena itu melalui anggaran Project Strengthening of Primary Healthcare in Indonesia (SOPHI) dialokasikan anggaran tersebut dalam bentuk pengampuan untuk tenaga kesehatan yang dilaksanakan secara swakelola tipe 2. Dengan demikian tenaga puskesmas di seluruh kabupaten kota mendapatkan peningkatan kapasitas yang sama secara terstandar.
Masalah gangguan pendengaran dan ketulian menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional bidang kesehatan, tercantum dalam Kepmenkes HK 01.07/Menkes/1989/2022 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuli Sensori Neural Kongenital.
Pada tahun 2021, diperkirakan 1,3 miliar orang atau 16% dari populasi global di seluruh dunia mengalami disabilitas. Jumlah ini telah meningkat secara signifikan selama beberapa dekade terakhir karena perubahan demografi dan epidemiologi seperti pertambahan populasi dan peningkatan jumlah orang yang menderita penyakit tidak menular, umur panjang dan penuaan dengan keterbatasan dalam fungsi. Selain itu, diperkirakan terdapat 240 juta anak di seluruh dunia, usia 0–17 tahun, dengan disabilitas. Dengan Asia Timur dan Pasifik menjadi rumah bagi 43,1 juta anak penyandang disabilitas.
Lebih dari 5% populasi dunia atau 430 juta orang memerlukan rehabilitasi untuk mengatasi gangguan pendengaran (432 juta orang dewasa dan 34 juta anak-anak). Diperkirakan pada tahun 2050 lebih dari 700 juta orang atau satu dari setiap sepuluh orang akan mengalami gangguan pendengaran. Hampir 80% orang dengan gangguan pendengaran, tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Prevalensi gangguan pendengaran meningkat seiring bertambahnya usia, di antara yang lebih tua dari 60 tahun, lebih dari 25% mengalami gangguan pendengaran.
Sedangkan di Indonesia, berdasarkan data Survey Kesehatan Indonesia (SKI) pada tahun 2023, menunjukkan bahwa prevalensi disabilitas rungu adalah sebanyak 0,4%. Data Sistem Informasi Manajemen Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial RI pada tahun 2019, persentase penyandang disabilitas di Indonesia berdasarkan jenis, didapatkan hasil tuna rungu sebesar 7,03%. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes RI pada tahun 2018, proporsi kelainan atau kecacatan sejak lahir pada anak umur 24-59 bulan di Indonesia sebanyak 0,11% mengalami tuna rungu. Hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes RI pada tahun 2013 prevalensi ketulian pada anak diatas atau sama dengan 5 tahun sebesar 0,09%. Survei nasional yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 1994-1996 di 7 provinsi, didapatkan angka kekerapan tuli kongenital sebesar 0,1%.
Deteksi dini sebagai pintu masuk intervensi dini dan penyediaan alat bantu menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan secara rutin pada semua anak. Dengan deteksi dini maka gangguan atau keterlambatan tumbuh kembang serta kondisi disabilitas pada anak dapat segera diketahui sehingga memungkinkan untuk dilakukan intervensi dini hingga penyediaan alat bantu yang tepat jika dibutuhkan. Dengan demikian, anak dengan gangguan tumbuh kembang atau kondisi disabilitas diharapkan dapat mencapai potensi maksimumnya serta memiliki kemandirian.
Strategi Pencapaian penurunan angka kejadian melalui sound hearing 2030. Deteksi dini berbasis Faskes yang terintegrasi di Layanan Primer dan Pelayanan Terpadu (PTM). Melalui peningkatan akses pelayanan, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, peningkatan pemberdayaan masyarakat dan penguatan tata kelola, dengan salah satu upaya terobosan membuat panduan dan menetapkan 120 kabupaten/kota lokus percepatan penurunan angka kejadian yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan dan akan dilaksanakan secara bertahap di seluruh wilayah NKRI.
Pendekatan yang digunakan adalah melalui pelatihan/workshop dan OJT untuk meningkatkan kapasitas dokter dalam penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Upaya meningkatkan kapasitas dokter dalam pelayanan kesehatan Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian, adalah dengan dilakukannya pelatihan peningkatan kompetensi dokter, dalam melakukan deteksi dini dan intervensi Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Dan hal ini, Dinas Kesehatan Provinsi Lampung memberikan tindakan nyata dengan memberikan kegiatan On The Job Training Skriining dan Tatalaksana Gangguan Pendengaran dan Ketulian.
Kegiatan On The Job Training Skriining dan Tatalaksana Gangguan Pendengaran dan Ketulian ini dibuka oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dr. Edwin Rusli, MKM di Hotel Horison Bandar Lampung dan berjalan sejak hari Selasa sampai Jumat 12 – 15 November 2024. Peserta dihadiri oleh Tenaga Kesehatan (Dokter) yang berasal dari 10 puskesmas dari Kota Bandar Lampung dan 8 puskesmas dari kabupaten Pesawaran. Peserta kegiatan juga melakukan kunjungan praktek ke RSUD. Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung dengan fasilitator berasal dari PERHATI KL (Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung dan Tenggorokan Bedah Kepala Leher Indonesia)
Pembuat Artikel : Ubaidillah | PTMKeswa